Sumber gabar : google.com
Hujan, riuhnya menjadi irama akustik nan merdu.
Sepasang sahabat mencoba menepi, berlindung dari derasanya. Yah, sepasang
sahabat itu adalah aku dan kamu.
“Alin, coba tebak! Apa yang lebih riuh dari suara
tangis anak kecil?” tanyamu, main-main. Coba memecah suasana.
“Hujan,” jawabku, sembari menyeruput minuman hangat
rasa kunyit yang baru saja kupesan.
“Hemmm tebak lagi! Apa yang lebih hangat dari
perapian?” Kedua taganmu menyentuh gelas kopi yang juga baru saja kaupesan.
Sentuhanmu,
Ren. Yang hangat adalah tanganmu. Karena itu, semua yang kamu sentuh pasti akan
menjadi hangat.
“Gelas kopimu,” jawabku singkat, dengan ekspresi datar
sambil memainkan gawai.
“Sekali lagi, ya! Apa yang lebih teduh dari pepohonan
di desa?” Sekali lagi kamu menanyakan hal yang bagiku jawabannya sungguh rumit.
Tentu saja
jawabannya adalah tatapanmu, Ren. Tidak ada yang lebih teduh dari tatapanmu.
Bahkan teduhnya awan pun tak sebanding dengan tatapanmu. Bagiku.
“Mungkin itu, di belakangmu.” Kamu menoleh ke
belakang, penasaran dengan apa yang kukatakan.
“Haloo ... Alin, aku bukan laki-laki mata keranjang.”
Kamu mendengus kesal, kemudian melanjutkan kalimatmu, “Okay, ini yang terakhir! Apa yang lebih pekat dari warna rambutmu?”
Waktu terasa berhenti, tatapanku fokus mengarah
padamu, “Malam ... seribu malam tanpamu.”
“Apa?” tanyamu, seolah tak paham dengan ucapanku.
“Sepertinya buku ini bagus, judulnya Seribu Malam Tanpamu.” Perasaanku tak
karuan. Atmosfer terasa begitu berat. Tak tahu harus bagaimana bereaksi agar
tetap terlihat tenang.
Ya Tuhan,
beberapa detik rasanya rumah makan ini sempit
sekali. Sesak, seperti tak ada udara untuk bernapas. Beruntungnya aku yang
sedang memainkan gawai, jadi bisa kugunakan untuk membuat alasan.
“Alin, kamu ini ...” Ucapanmu terpotong begitu saja,
saat mendengar nada romantis diiringi getar dari gawai yang sedari tadi
kausimpan di dalam saku baju.
Kamu : Hallo Risa, ada apa?
Risa : ...
Kamu : Hujannya sangat deras, aku masih di rumah
makan.
Risa : ...
Kamu : Iya, memangnya kenapa?
Risa : ...
Kamu : Alin
adalah sahabatku sejak kecil. Di antara kami tidak akan, dan tidak boleh ada
perasaan seperti yang kamu katakan itu. Hubungan kami selamanya akan seperti
ini. Persahabatanku dengan Alin tidak akan terpisahkan sampai kapan pun. Karena
itu, tak akan kubiarkan perasaan seperti yang kamu tuduhkan tadi muncul di
antara aku dan Alin.
Kamu menutup telpon, kemudian menghela napas panjang.
“Risa barusan menelepone, sepertinya dia sedikit
cemburu dengan ... ”
“Apa yang dia khawatirkan?” ucapku, memotong
kalimatmu.
“Dia bilang, persahabatan dengan lawan jenis itu
pasti salah satunya ada yang menyimpan perasaan lebih.”
“Dan kaupercaya itu?” ucapku. Lagi-lagi memotong,
sebelum kamu melanjutkan kalimat berikutnya.
Percayalah,
apa yang dikatakan kekasihmu itu benar. Aku menyukaimu, dengan sangat. Tak ada
yang boleh tahu. Bahkan aku juga berharap, Tuhan tak tahu. Tapi itu mustahil.
Persahabatan
kita telah terjalin selama dua puluh satu tahun, bagaimana mungkin seseorang dengan
hati rapuh sepertiku tak jatuh hati pada laki-laki ideal sepertimu. Tak apa,
biarkan saja tetap seperti ini.
Katamu,
dengan mengatasnamakan persahabatan, kita tidak akan terpisah. Nyatanya,
kamulah yang pergi bersama dia. Dan kelak, akan meninggalkanku juga. Terserah
kamu saja. Begini juga sudah cukup. Bagiku, kamu adalah seorang kekasih ...
dalam imajinasi.
Yah,
selamanya akan tetap seperti itu.
#14thDay
#30DWC
#Kunyit-sempit-rumit
#OneDayOnePost